Tapi pernah ngga sih, kamu udah curhat panjang lebar sama teman tapi ngerasa ngga puas. Bukannya jadi lega udah curhat sama teman, tapi kaya ngga ada bedanya, ngga menemukan titik terang dari masalahmu gitu, bahkan emosi kamu jadi lebih negatif. Bingung banget sumpah kalo udah mentok gitu, teman yang diharapkan bisa bantu nemuin titik terang masalahmu malah ngga ngebantu. Jangan-jangan ada yang salah dengan cara mereka menanggapi curhatanmu? Kamu pasti pernah dengar kan dari temanmu kalimat positif semacam “ambil sisi baiknya aja” atau “semangat ya” nah kalimat positif ini ternyata efeknya bisa negatif banget lho bagi beberapa orang. Kok bisa gitu? pasti bingung ya. Kebetulan banget nih kali ini untidaronline mau membahas tentang toxic positivity
Jadi gini, ternyata ngga semua orang tuh bisa menerima kalimat-kalimat positif semacam itu sebagai hal yang positif juga, malah mereka bisa aja ngga nyaman atau kesal yang ujung-ujungnya justru bikin emosi mereka makin negatif aja. Walaupun kadang beberapa orang masih bisa menerima itu di momen tertentu. Apa sih sebenarnya toxic positivity itu? Jadi toxic positivity bisa dikatakan sebagai keadaan saat seseorang hanya fokus pada emosi positif saja disertai pola pikir optimis yang berlebih, jadi bisa aja tuh tanpa disadari mereka menolak atau menganggap remeh emosi lawan bicaranya saat itu (emosi negatif), akibatnya lawan bicara mereka merasa dipaksa untuk fokus pada sisi positfnya saja. Bahkan tanpa disadari mereka cenderung tidak mau menerima segala hal yang memicu emosi negatif dari lawan bicaranya. Sayangnya banyak dari kita yang belum menyadari tentang toxic positivity, sehingga sebagian dari kita seringkali dengan mudahnya mengucapkan kalimat-kalimat toxic posivity pada lawan bicara kita. Padahal kalimat-kalimat itu tanpa kita sadari bisa saja menyerang psikis lawan bicara kita.
Akibat dari ketidaksadaran orang-orang tentang toxic positivity akhirnya kita kerap menemui hal ini di keseharian kita, Contohnya gini deh, misal kamu lagi kesel dan stress gara-gara seseorang lalu kamu curhat masalah itu ke temenmu, temenmu kok malah nyeletuk “udah lah jangan stress, ambil sisi baiknya aja dari dia” udah gitu temenmu seolah ngga suka kalo kamu tetep ngeluhanjutin curhat buat merasakan stresmu atau sedihmu. Meskipun niat temenmu mengucapkan itu baik, tetapi itu menunjukan jika dia tidak mencoba memahami bagaimana perasaanmu atau turut merasakan apa yang kamu rasa, gampangnya mau seneng-senengnya aja gitu. Pasti jadi tambah kesel kan, terus dipaksa buat menahan atau melupakan emosi negatif kamu. Padahal merasakan atau meluapkan emosi negatif tuh penting banget, semua itu jika ditahan-tahan yang ada bikin toxic buat dirimu sendiri.
Ngomong-ngomong soal temen nih, kamu pasti pernah dong nemu temen yang giliran diajak curhat malah seneng banget ngadu nasib, misal gini “banyak kok yang begitu, ngga cuma kamu”, “Itu mah biasa, dulu aku lebih parah” kalimat-kalimat mengadu nasib kaya gitu bisa aja justru bikin seseorang jadi malu kemudian mereka jadi keras sama diri sendiri. Kepercayaan yang mereka berikan pada temannya untuk mendengarkan curhat malah disia-siakan, karena tanggapan yang mereka dapat seolah menganggap masalahnya cukup remeh. Dengan begitu tidak menutup kemungkinan mereka akan berpikir dua kali saat ingin curhat pada orang yang sama, parahnya lagi mereka bisa saja enggan curhat lagi dan menjadi tertutup kepada temannya. Kalau sudah tertutup gitu yang pasti dia akan kehilangan tempat untuk mengungkapkan emosinya. Beruntung jika dia menemukan tempat lain, bagaimana jika tidak? Tentunya akan semakin kesulitan dalam mengungkapkan emosi-emosi yang muncul.
1. Abai terhadap emosi negatif yang muncul pada diri sendiri
2. Menutupi perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan
3. Menghakimi orang lain yang mengekspresikan emosi negatifnya, contohnya “ya ampun gitu aja kok ngeluh, lemah amat sih”
4. Merasa bersalah hanya karena merasakan emosi negatif kita
5. Alih-alih memvalidasi perasaan mereka justru memberi perspektif lain, “kamu tuh bersyukur harusnya, coba lihat mereka deh”
Banyak orang tidak memahami bahwa emosi negatif adalah hal yang harus diterima, bahkan ada anggapan bahwa bahagia sama dengan ngga sedih. Anggapan seperti itulah yang kemudian memicu emosi-emosi negatif harus ditolak agar bahagia. Padahal yang namanya emosi negatif itu normal-normal aja dan ngga boleh ditolak atau dipendam. Emosi negatif ngga selamanya buruk ya, cara kita dalam menghadapi suatu emosi negatif bisa dijadikan pelajaran untuk kedepannya saat menghadapi emosi negatif itu lagi.
Sama halnya dengan emosi negatif, pola pikir optimis juga penting. Akan tetapi harus sesuai dengan realita yang ada, harus realistis. Misalnya gini, kamu sedang mengharapkan masalah yang kamu hadapi akan terselesaikan, namun disaat yang sama kamu tidak memikirkan hambatan apa yang mungkin terjadi dan perlu diantisipasi, kamu seolah cuek pada fakta yang ada. Sederhananya kamu hanya sekedar positive thinking dan tidak memikirkan bagaimana penyelesaian masalahmu. Begitu pula saat kamu menanggapi curhatan temanmu, kamu bisa saja kelewat optimis dan cenderung cuek pada kenyataan yang sedang dihadapi temanmu. Tidak realistis dengan apa yang seharusnya dihadapi kedepannya.
Kamu pasti pengin kan lingkar pertemananmu dihindarkan dari yang namanya toxic positivity, nah kali ini untidaronline mau ngasih tips nih, biar lingkar pertemananmu dijauhin dari si toxic positivity, semoga bermanfaat ya!
1. Hindari anggapan good vibes only
Emang salah ya beranggapan demikian? Ngga kok sebenarnya, akan tetapi anggapan ini membuat orang ngga boleh merasakan atau sekedar memikirkan emosi negatif. Kita perlu meraskan emosi negatif terlebih dahulu sebelum berpikir secara positif, sebelum diri kita baik-baik aja.
2. Pahami bagaimana kepribadan temanmu
Antara kamu dan temanmu tentuunya memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap masalah. Cara yang biasa kamu gunakan dalam menghadapi suatu masalah bisa aja ngga cocok jika dipakai oleh temanmu. Kalau sudah demikian kamu bisa memberi dukungan pada temanmu. Kamu dapat memberi dukungan dengan cara menawarkan bantuan atau menanyakan apa yang sedang mereka butuhkan. Dengan begitu menunjukan bahwa kamu bersamanya, kamu benar-benar menemani dia saat dia sedang kesulitan dan memberi support tentunya.
3. Komunikasi
Saat kamu tidak nyaman dengan perkataan temanmu, kamu bisa mengatakannya secara baik-baik pada temanmu. Kamu juga bisa mengatakan seperti apa ekspektasimu pada mereka sebagai teman curhat. Dengan begitu pertemananmu akan lebih berkualitas lagi, bisa saja pertemananmu menjadi lebih komunikatif lagi dan kemudian lebih muncul rasa percaya antara satu sama lain.
4. Bertemu professional
Hal ini mungkin bisa dilakukan untuk dirimu sendiri ya. Dengan curhat kepada psikolog, psikiater atau semacamnya kamu bisa curhat tanpa khawatir akan dihakimi. Kamu bahkan bisa menemukan sudut pandang yang selama ini tidak kamu sadari. Mereka tentunya sudah sangat terlatih dalam menghadapi berbagai macam kepripadian. maka dari itu jangan sungkan-sungkan datang pada mereka ya.
Semua hal yang kamu temui sehari-hari tidak melulu harus dilihat dengan sudut pandang yang positif. Sekali lagi, emosi negatif itu wajar dan perlu untuk diraskan. Karena apabila terus dihindari justru akan menyiksa. Mudah-mudahan dalam setiap penderitaanmu, kamu selalu menemukan tempat untuk berbagi rasa ya. Terakhir, jika artikel ini kamu rasa penting bagi kelangsungan pertemananmu, jangan lupa beri tahu mereka ya, sampai jumpa!
Source Image:
https://www.freepik.com/free-photo/beautiful-girl-hiding-carton-with-smiley-grey-wall_7515599.htm#page=1&query=beautiful%20girl%20hiding%20carton&position=0
https://twitter.com/helowmad/status/1318463730636648448?s=19
Tidak ada komentar: