Kita patut bersyukur hidup di zaman dimana emansipasi sudah berdiri, derajat wanita sudah dimuliakan. Tapi tak elak, dalam benak kalian masih sering kan terbesit sebuah pertanyaan tentang kewajiban cowok untuk membayar di setiap kencan? Jawabannya pun bervariatif, tergantung pemahaman dan sudut pandang kalian dalam membaca permasalahan tersebut.
Mayoritas para wanita akan menjawab “wajib” dengan seribu alasannya, namun, tak sedikit pula yang menyatakan bahwa hal tersebut keliru atau “tidak wajib”, itupun juga atas dasar yang cukup kuat. Sedangkan para kaum lelaki pun akan menjawab demikian dengan pertimbangannya masing-masing. Sebenarnya tidak ada jawaban yang salah karena setiap insan memiliki paradigma dan pola pikirnya masing-masing, hanya saja terkadang kurang tepat dalam pengaplikasiannya.
Pendapat yang menyatakan “kewajiban cowok untuk membayar saat nge-date” dapat dikategorikan sebagai buah dari budaya patriarki di Indonesia. Hal ini mungkin akan tepat jika diterapkan pada 350 tahun yang lalu sebelum Indonesia merdeka. Budaya patriarki di Indonesia muncul ketika kolonial Belanda menjajah Indonesia. Hal ini dibenarkan oleh pernyataan dari seorang mantan jurnalis Jawa Pos, Dinda Lisna Amilia yang menyatakan bahwa budaya patriarki sesungguhnya telah tertanam dalam benak masyarakat selama 350 tahun karena ulah para kolonial Belanda. Inilah yang menjadi penyebab jiwa perkasa para perempuan Indonesia tereduksi, menjadikan mereka sebagai kaum-kaum yang tertindas.
Patriarki sendiri menurut Max Weber adalah sebuah sistem kekuasaan atau pemerintahan dimana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga, atau singkatnya dapat dikatakan bahwa laki-laki memegang otoritas penuh kekuasaan atas segalanya. Jika kita elaborate dari pengertiannya, patriarkis sudah muncul dalam kehidupan manusia sejak sebelum ditemukannya aksara, tepatnya pada masa berburu dan meramu. Terlihat dari kegiatan kaum laki-laki pada masa itu yaitu bekerja di luar tempat tinggal, sedangkan para perempuan bertugas menjaga anak dan berlindung di dalam hunian mereka. Praktik ini pun berlanjut pada masa bercocok tanam sampai pada saat ini. Akibatnya, kedudukan perempuan diklasifikasikan kedalam kategori makhluk second class atau selalu berada dibawah kuasa lelaki, baik dalam ruang privat maupun publik.
Jadi sungguh sangat sulit untuk kita memetik faedah dari praktik patriarkis ini, bahkan mungkin memang tidak ada sih. Nah, bukanlah suatu hal yang berlebihan, jika kita menganggap bahwa permasalahan yang kita punya tadi adalah salah satu buah dari budaya patriarki ini, bukan? Sejatinya, kewajiban seorang laki-laki sebagai kepala keluarga memang mencari nafkah, tetapi hal ini tidak berlaku untuk para laki-laki yang baru menyandang status “kekasih; pacar”, karena secara harfiah dia belum bisa disebut kepala keluarga. Kewajiban utama mereka adalah justru tidak menyakiti hati wanitanya, menjaga supaya air mata wanitanya tidak diteteskan karenanya.
Budaya yang sudah dianggap lumrah oleh para kaum kasmaran ini sering membuat hubungan menjadi renggang. Tidak sedikit kaum Adam yang mengeluhkan kelumrahan yang ganjil ini saat kondisi finansial mereka sedang dilanda krisis (bokek). Mereka seolah membentuk paradigma sendiri bahwa setiap inviting date sudah termasuk biaya pengeluarannya entah biaya makan, parkir, bensin, tiket masuk dan lainnya. Padahal banyak wanita yang merasa keberatan jika harus mengiyakan budaya ini karena sebenarnya mereka hanya ingin menghabiskan waktu dengan kekasihnya, bertukar kisah tanpa harus membebankan semua biaya itu pada pasangannya. Justru, sebagian wanita merasa sungkan dan terbebani jika harus membebankan semua pada kekasihnya, karena mereka menganggap itu semua adalah hutang. Alih-alih bakal langgeng, yang ada justru rasa sungkan dan ketidakterbukaan yang menyelimuti dalam suatu hubungan.
Berdasarkan penelitian oleh Ana Suryani dan Desi Nurwidawati, keterbukaan dalam relationship memiliki hubungan yang signifikan terhadap trust pada pasangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketidakterbukaan merupakan salah satu indikasi hubungan yang tidak sehat dan tidak disarankan untuk dipertahankan. So, untuk menghindari hal semacam ini, sebenarnya sangatlah simple dan mudah yaitu hanya dengan “break the role”, menghancurkan budaya patriarki ini lewat penyadaran pada pasangan yang sudah termakan oleh budaya kuno ini. Pada dasarnya suatu hubungan adalah untuk menguntungkan kedua belah pihak bukan untuk menumbuhkan parasitisme yang justru merugikan salah satu pihak saja.
What Should We Do?
Rubah paradigma kita dan ciptakan alternatif lainnya. Sulit sih buat merubah kebiasaan, tapi sebenarnya banyak cara yang bisa kita kreasikan dan dapat kita terapkan sebagai aternatif penyelesaiannya. Contohnya dengan menerapkan pembayaran 50:50, yaitu dengan membagi total pengeluaran sama besar, sehingga baik si cewek maupun si cowok akan mengeluarkan biaya yang sama. Atau dengan membuat kesepakatan bersama pasangan agar bergantian membayar. Misalkan saja, si cowok sudah membelikan tiket bioskop, nah giliran si cewek untuk membelikan minum atau makanannya. Atau bisa dengan sistem “payment a day”, hari ini jatah si cowok untuk membayar dan besuk baru jatah si cewek.
Sebenarnya banyak sih alternatif lain tinggal teman-teman saja yang mengkreasikan, mungkin kamu bisa berbagi dikolom komentar jika kalian punya alternatif lainnya. Tetapi kembali lagi bahwa semuanya itu harus didiskusikan terlebih dulu kepada pasangan agar dapat berjalan lancar. Selamat mecoba…
Source:
Ani Suryani dan Desi Nurwidawati. 2016. Self Disclosure dan Trust Pada Pasangan Dewasa Muda yang Menikah dan Menjalani Hubungan. Jarak Jauh Jurnal Psikologi Teori dan Terapan. Vol 7, No 1, (9-15).
https://didaktikaunj.com/2020/04/06/menggugat-patriarki/
https://pwmu.co/100556/06/29/budaya-patriarki-di-indonesia-ternyata-warisan-kolonial-belanda/amp/
https://matatimoer.or.id/2016/04/05/patriarki-masyarakat-budaya-dan-negara-dalam-kuasa-lelaki/
www.pexels.com/@khoa-vo-2347168 (Image)
Tidak ada komentar: